Muhammadiyah, makin lama makin cinta. Inilah judul pidato amanat Bung Karno pada perhelatan pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta 1962. Ungkapan yang dijadikan judul pidato ini amat unik dan menggugah. Seakan memantik jutaan warga, jutaan kader, dan jutaan simpatisan sedunia untuk mencintai Muhammadiyah.
Banyak jalan yang bisa kita tempuh untuk mencintai Muhammadiyah. Mengutip nasihat ayahanda kita, Haedar Nashir, “Bila ingin mencintai Muhammadiyah, kenalilah organisasi ini luar dalam” ujarnya penuh cinta. Tidak hanya kulit yang tampak saja, tetapi juga daging dan tulang yang tak nampak pun harus kita insafi betul. Di sini peran kesejarahan amat penting untuk mengisi daging dan tulang yang dimaksud.
Sadar tidak sadar, di dalam Persyarikatan kita, ada dua ihwal yang tidak serupa dan nyaris sama. Tetapi dua ihwal ini punya kemiripan yang begitu dekat. Pergerakannya pun sama lekatnya. Hanya terpisah bentuk dan jenisnya. Esensinya pun masih sangat erat. Apakah keduanya itu? Keduanya adalah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW).
Keduanya lahir bersamaan ditahun yang sama, bahkan dibulan yang sama, Desember 1918. Keduanya sama-sama dilahirkan dan dibesarkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Barangkali boleh keduanya dikata sebagai saudara kembar karena kemiripannya. Tetapi sekali lagi, tidak serupa dan nyaris sama. Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta adalah satu diantara ribuan Amal Usaha di bidang Pendidikan milik Muhammadiyah. Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan adalah satu diantara 7 ortom Muhammadiyah. Dua jenis yang berbeda, tetapi keduanya punya hasrat perjuangan yang sama : menempa dan menghasilkan kader Muhammadiyah yang militan.
Peran yang telah diberikan oleh para direktur Madrasah Mu’allimin dari masa ke masa sangat bermanfaat bagi pengembangan HW secara umum, maupun terkhusus di lingkup madrasah. Mereka meyakini bahwa mengembangkan HW itu sama saja artinya dengan menanam investasi penting yang tak terukur ruang dan masa bagi kemajuan Muhammadiyah di masa depan.
Kyai Haji Ahmad Dahlan (direktur pertama periode 1918 – 1923) memberikan teladan tersebut dengan menginisiasi dan merintis pendirian HW. Inspirasi untuk mengadopsi metode kepanduan dari Barat untuk mendidik anak-anak muda Muhammadiyah tidak ujug-ujug begitu saja muncul dibenaknya. Ide ini semakin nyata muncul, setelah melalui proses perenungan yang mendalam.
Keinginan itu semakin kuat ketika beliau melintas di muka alun-alun Mangkunegaran, Surakarta. Ia melihat sendiri barisan pandu-pandu JPO (Javaansche Padvinder Organisatie) sedang berlatih. Mereka terlihat sangat gagah dan cekatan. Mengenakan seragam dan kacu khas kepanduan.
Entah hanya kebetulan, atau memang para pembaharu itu saling memiliki “ikatan”, terobosan metode kepanduan yang digagas oleh Lord Baden-Powell (BP) puluhan ribu kilometer jauhnya di Inggris sana, seakan nge-klik dengan keresahan dan perputaran batin yang ada di benak Kyai Haji Ahmad Dahlan pada saat itu. Keduanya sama-sama “bersepakat” bahwa generasi muda harus diselamatkan dari semua kemunduran moral dan jasmani. Bertemunya kedua buah pemikiran ini agaknya harus dikaji dan diberikan perhatian khusus, bahwa ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan dan BP punya kesamaan pemikiran yang menakjubkan. Padahal keduanya tidak pernah bertemu. Jangankan ketemu, kenal saja mungkin tidak.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah pepatah. Direktur kedua, Kyai Haji Siradj Dahlan (periode 1927 – 1930) melanjutkan pengembangan kedua warisan besar ayahnya : Madrasah Mu’allimin dan Hizbul Wathan. Siradj Dahlan adalah penyumbang pertama lirik mars Hizbul Wathan dimasa awal. Ia adalah penggubah larik “Sama-sama fakir dan kaya, punya haluan sedikit bicara banyak bekerja”. Lirik sederhana yang akan merasuk ke relung sukma bagi sesiapa saja yang pernah bersenandung dengan mars ini. Hingga detik ini, adagium sedikit bicara, banyak bekerja masih menjadi andalan prinsip beramal bagi warga Muhammadiyah.
Direktur ketiga, Kyai Haji Raden Hadjid memiliki peran vital dalam menyumbangkan gagasan nomenklatur hizbul wathan untuk menggantikan nama Padvinder Moehammadijah. Nama ke-belanda-belanda-an ini diprotes oleh perkumpulan kepanduan se-Hindia Belanda, NIPV. Mereka tidak bersedia jika istilah padvinder digunakan oleh perkumpulan kepanduan selain yang terafiliasi dengan NIPV. Maka para pimpinan HW pada saat itu melakukan brainstorming dirumah Haji Hilal, untuk memunculkan penamaan baru. Tercetuslah dari buah pikiran Kyai Hadjid nama hizbul wathan yang selanjutnya disetujui oleh semua anggota forum.
Kyai Haji Raden Hadjid adalah direktur periode 1923-1927. Beliau terlibat aktif dalam pengembangan HW dimasa-masa awal perintisannya. Sebagai salah satu santri, kader, dan sahabat dekat Kyai Dahlan, beliau gemar mengembangkan ide pemikiran Kyai Dahlan. Hadjid mafhum betul bahwa Kyai Dahlan tidak main-main dalam pendirian kepanduan HW. Kyai Dahlan memiliki pandangan yang luar biasa terlampau jauh ke depan tentang ide pendidikan generasi muda lewat metode kepanduan.
Direktur kesembilan, Kyai Haji Muh. Mawardi (dua periode 1960-1963 dan 1969-1980) adalah penutup lembaran sejarah HW pada masa itu. Kekuasaan orde lama mengambil kebijakan untuk membubarkan (kata yang lebih halus : meleburkan) seluruh perkumpulan kepanduan yang ada menjadi satu tubuh, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Gerakan Pramuka.
Mawardi menjadi Direktur terakhir yang memimpin Madjlis Hizbul Wathan ditingkat pusat. 1961 menjadi bukti sejarah bahwa UU HW nomor 7 yang kita kenal sekarang : “Pandu HW itu melaksanakan perintah tanpa membantah” bukan sekedar embel-embel belaka. Dibalut rasa patriotisme dan kebesaran jiwanya, Mawardi bersama 70-an lebih pimpinan perkumpulan kepanduan se-Indonesia menyerahkan masing-masing kacu dan panji yang selama ini begitu mereka cintai di Istora Senayan. Mematuhi amanat Bung Karno pada saat itu 30 Juli 1961 menjadi hari yang muram namun mengharukan.
Direktur Mu’allimin yang satu ini dikenal sangat tegas dan disiplin. Prinsipnya adalah discipline zero tolerance. Jangankan para santri, para asatidz dan dewan guru saja sangat sungkan dengan kharisma seorang Kyai Mawardi. Namun dibalik itu semua, ia memiliki hati yang begitu lembut dan tulus. Sorot matanya memancarkan keteduhan dan keluasan ilmu yang berbalut ketawadukan. Karakter yang sangat ideal sebagai hasil manifestasi dari undang-undang dan Janji Pandu HW.
Pasca pembubaran (peleburan) pandu-pandu se Indonesia, banyak diantara mantan pandu-pandu HW yang enggan untuk bergabung dengan Pramuka. Mawardi menjadi salah satu pandu HW yang tidak termasuk dalam golongan itu. Dengan berbesar hati, ia tetap memilih untuk turut aktif dalam Pramuka. Perannya bagi Pramuka terus deras mengalir, hingga ia dilantik sebagai Ketua Kedua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DIY untuk masa bakti 1963-1966. Hal ini menjadi bukti bahwa kontribusi para pandu HW bagi Pramuka tidak dapat dianggap enteng.
Dewasa ini, upaya-upaya yang digalakkan oleh para direktur dalam dua dekade terakhir semakin menggembirakan. Sejak dibangkitkannya kembali HW pada 1999, disusul dengan instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, direktur pada rentang periode kepemimpinan ini selalu menunjukkan usaha dan peran terbaiknya agar salah satu warisan Kyai Dahlan ini tetap berdiri kokoh dan terawat. Mulai masa kepemimpinan Ustadz Zamzuri Umar, Muh. Ikhwan Ahada, Asep Shalahuddin, hingga Aly Aulia punya peran yang khas.
Geliat euforia kebangkitan HW di Madrasah Mu’allimin semakin terasa dengan diresmikannya Dewan Eksekutif Penghela (DEP) pada 1 Juni 2003. Peristiwa ini terjadi pada masa kepemimpinan Ustadz Zam, sapaan akrab Zamzuri Umar. Disusul kepemimpinan Ustadz Ikhwan Ahada yang semakin mengokohkan kepanduan HW sebagai sistem perkaderan tak terpisahkan dari Mu’allimin. Pada era Ustadz Asep Shalahuddin, direktur secara langsung turun melantik para pimpinan DEP, simbol dukungan moral dan materiil ini menjadi tanda untuk mengobarkan semangat kemajuan HW. Peran dan kontribusi yang telah diusahakan oleh para pendahulu, tidak lantas putus begitu saja. Alih-alih mengendur, direktur periode berikutnya, Ustadz Aly Aulia justru semakin mengencangkan ikatan dengan mendorong berbagai kegiatan HW hingga Pandu HW di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta mendapatkan Juara dalam Lomba Pengenal Berprestasi tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan beberapa bulan yang lalu.
Sebagai penutup, penulis berharap agar ulasan singkat ini dapat membuka mata kita, terkhusus para pimpinan sekolah/universitas Muhammadiyah. Kita tidak boleh serta merta menutup mata terhadap masa depan gerakan kepanduan ini. HW adalah warisan terbesar ketiga Kyai Dahlan setelah Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Kita tentu enggan membayangkan betapa remuk perasaan Kyai Dahlan bilamana mengetahui bahwa salah satu warisan berharganya terabaikan. Memikirkan masa depan HW adalah kewajiban kita sebagai warga persyarikatan. Untung saja, menurut hemat penulis, hal ini belum pernah terjadi di sekolah/universitas Muhammadiyah. Kesenjangan pengembangan HW di AUM belum pernah terjadi. Syukurlah. Semoga saja belum dan tidak akan pernah. Semoga saja.
Daftar Pustaka :
1. Baden-Powell, Lord Robert. 2018. SCOUTING FOR BOYS : Buku Pegangan Wajib untuk Anggota Pramuka, Pembina, Pelatih, Guru, Pecinta Alam, Relawan, dan Para Orang Tua. Jakarta: Renebook.
2. Chasanah, Uswatun. 2005. Perjuangan & Kehidupan Ayahku (Riwayat Hidup KRH. Hadjid). Jogjakarta: Suara Muhammadiyah.
3. Djojodibroto, R. Darmanto. 2012. Pandu Ibuku : Mengajarkan Budi Pekerti, Membangun Karakter Bangsa. Jogjakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
4. Hizbul Wathan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Madjlis. 1961. Tuntunan Hizbul Wathan: Kenang-kenangan. Jogjakarta.
5. Hs, Lasa. Widyastuti. 2014. 100 Tokoh Muhammadiyah Yang Menginspirasi. Jogjakarta: Majelis Pusataka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.