Emban cinde emban siladan
Emban cinde emban siladan adalah peribahasa Jawa yang menggambarkan orangtua yang membedakan kasihnya kepada anak-anaknya atau pilih kasih. Anak yang disayang digendong dengan kain gendongan yang halus atau cinde sedangkan anak yang lain digendong menggunakan anyaman kulit bambu atau siladan. Pengutipan peribahasa ini didasari kenyataan pada saat ini ada kelompok masyarakat yang merasakan mendapat perlakuan emban cinde emban siladan.
Jambore Pandu Sedunia ke-23
Pada 28 Juli 2015 sampai 8 Agustus 2015 gerakan kepanduan internasional mengadakan perhelatan Jambore Pandu Sedunia ke-23 di Kirara-hama, Jepang. Dalam rangka jambore kepanduan ini, Presiden Djoko Widodo dengan mengenakan uniform seperti pramuka melepas kontingen Indonesia yaitu 462 anggota Gerakan Pramuka untuk menuju Jepang. Tidak tampak adanya pandu Hizbulwathan pada kerumunan yang berangkat ke Jepang; apakah mereka tidak diajak, tidak ditawari untuk ikut serta?
Jambore Pandu Sedunia ke-5
Pada tahun 1937 Pemerintah Hindia-Belanda mengirimkan pandu-pandu dari nusantara ikut dalam Jambore Pandu Sedunia ke-5 di Vogelenzang, the Netherlands. Yang berangkat bukan hanya pandu-pandu NIPV saja (Nederlandsche Indische Padvinders Vereniging) tetapi juga pandu-pandu dari JPOM (Javaansche Padvinders Organisatie Mangkoenegaran) yang diwakili oleh RM Darmoro, RM Soenarso, RM Sarsadi, M Sastrosoekotjo, M Soeroto, dan M Partojo. Tiga pasukan dari NIPV beranggotakan pandu-pandu yang namanya berethnis Jawa/Melajoe 21 orang, Maluku 6 orang, Cina 14 orang, Arab 7 orang dan Belanda/Eropa 44 orang. Pandu-pandu sebanyak 95 orang (tambah pemimpin pandu) berangkat dengan menggunakan kapal laut “Dempo” dari pelabuhan Tandjoengpriok, 13 Juli 1937.
Jambore Pandu Sedunia ke-10
Pada tahun 1959 Pemerintah RI mengijinkan pandu-pandu mengikuti Jambore Pandu Sedunia ke X di Mt Makiling, the Philippines. Yang berangkat bukan hanya satu organisasi saja tetapi Pandu Rakyat Indonesia, Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), Pandu Anshor, Pandu Hizbulwathan (HW), Pandu Bhayangkara, Pandu Katholik, Pandu Kristen, Pandu Islam Indonesia, Pandu Al-Washliyah, keseluruhannya berjumlah 72 orang; berangkat dari pelabuhan Tandjung Priok dengan kapal kayu kecil DKN 502 milik Djawatan Kepolisian Negara. Peserta Jambore Pandu Sedunia ke-10 ini banyak yang sudah meninggal dunia, yang masih tetap segar sekarang berusia di atas 70 tahun, mereka masih saling bersilaturahim.
Data jambore-jambore di atas dapat menggambarkan suasana keadilan pemerintah sesuai dengan kurun waktunya.
- Pemerintah Hindia-Belanda (penjajahan) tahun 1937 di bawah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer masih mau mengirim padvinder yang pribumi tetapi tidak mengijinkan pandu-pandu seperti Hizbul Wathan, KBI, SIAP, dan lain-lain untuk ikut serta.
- Pemerintah RI tahun 1959 (kabinet pimpinan Ir. Djuanda) tidak membedakan organisasi pandu kecuali oganisasi yang mengaku kepanduan tetapi atheist.
- Pemerintah RI tahun 2015 di bawah Presiden Joko Widodo tidak memberi kesempatan kepada kepanduan untuk ikut jambore pandu sedunia ke-23 kecuali Pramuka.
Kepanduan yang terstigmatisasi
Pada tahun 1961 Pemerintah RI melarang berdirinya kepanduan dan membentuk Pramuka. Setelah reformasi tahun 1998 tumbuh kembali organisasi kepanduan di antaranya HW dan alhamdulillah setelah adanya Undang-undang No.12 tahun 2010 di Indonesia tidak ada lagi pelarangan berkepanduan; namun demikian Pemerintah RI tampaknya masih canggung untuk menganggap pandu HW sebagai organisasi kepanduan.
Pejabat-pejabat di pemerintahan RI tidak bersedia untuk tahu bahwa ada perbedaan antara kosakata kepanduan dan pramuka. Kepanduan adalah terjemahan dari scouting (dalam bahasa Inggris) atau padvinderij (dalam bahasa Belanda), sedangkan Pramuka adalah nama organisasi, dengan demikian tidak ada terjemahannya dalam bahasa Inggris maupun Belanda. Pejabat-pejabat di pemerintahan RI saat ini adalah pribadi-pribadi usia pegawai negeri (di bawah 58 tahun) yang tidak mengenal sejarah kepanduan. Pengetahuan mereka tentang kepanduan bersumber pada Ketetapan MPRS No II/1960 tanggal 3 Desember 1960 dan dari Pidato Presiden Soekarno ketika membubarkan kepanduan pada tanggal 9 Maret 1961 yang kesemuanya melekatkan suatu stigma sosial kepada kepanduan. Kepanduan disebut sebagai produk kolonial, imperialis, tidak nasionalis, mengkotak-kotakkan bangsa, hanya belajar simpul tali atau mbundelken tali, mendidik woudlopers, hanya bisa meneriakkan yell-yell, pandai bertepuk tangan tidak tahu cara menanam padi, tidak mengerti revolusi, oleh karenanya Baden-Powellisme harus dienyahkan dari bumi Indonesia. Stigma ini sangat dipercaya “kebenarannya” oleh masyarakat karena sejarah kepanduan yang heroik dan patriotik telah dibuat menjadi kabur dan baur.
Keberhasilan kepanduan dalam membentuk karakter
Kepanduan berdiri di nusantara sejak 1912 dan dilarang berdiri pada tahun 1961; dengan demikian kepanduan berkesempatan hanya selama 49 tahun membentuk karakter warga bangsa; menghasilkan warganegara yang sehat jasmani dan rohani, dapat dipercaya, tidak satu catatan pun menandai adanya bekas anggota pandu yang menjadi koruptor. Ini merupakan salah satu hasil dari pendidikan karakter yang dilakukan kepanduan. Ketika dibubarkan, pun kepanduan tidak “mbalelo”.
Sejak 1961 sampai dengan 1999 atau selama 39 tahun tidak ada lagi kepanduan sebab ada pelarangan berkepanduan; suasana di masyarakat menjadi banyak berubah. Suasana perasaan masyarakat sekarang ini kurang nyaman dibandingkan di masa-masa lalu; akan membeli tahu atau mie atau bakso, takut kecampuran formalin; ingin mencari daging sapi, takut telah dioplos daging celeng; ingin berkendaraan di jalan raya, was-was ban terkena ranjau paku; ingin menjadi kenek dan supir bis atau truk, harus siap kena palak yang bertugas di jalan; ingin naik kereta api, takut jendelanya kena lemparan batu; lapor kecurian, takut dimintai biaya melapor; mau kuliah di perguruan tinggi, dapat ijazah palsu; berperkara di pengadilan, khawatir ketua pengadilan dan hakimnya disogok pengacara; beribadah haji diharuskan menyumbang dana abadi yang tidak jelas kegunaannya; ingin membangun gedung olahraga, dananya dijadikan bancakan; beli mobil sport tidak takut dapat mobil bodong oleh karena niatnya memang beli mobil bodong; ingin membasmi koruptor, takut terkena kriminalisasi atau pun dituduh sebagai pengkhianat; memilih presiden yang katanya santun ternyata pada akhirnya ngobyek jadi ketua umum partai; ingin menjadi polisi agar bisa bertugas sebagai penegak hukum, setelah pangkatnya berbintang malah dianggap oleh hakim sebagai bukan pejabat penegak hukum. Suasana yang demikian tadi jauh benar dengan syarat yang diperlukan untuk menjadi bangsa yang besar; suatu suasana di mana mulai dari lapisan masyarakat terbawah sampai pimpinan negara tertinggi mengalami anomali.
Yang perlu dipertanyakan adalah:
- Apakah ada hubungan sebab-akibat antara perubahan moral pejabat dan moral sebagian kecil masyarakat sekarang ini dengan pelarangan berdirinya kepanduan selama 39 tahun.
- Selama pelarangan berkepanduan, pembentukan karakter diambil alih oleh Gerakan Pramuka, hampir semua anak sekolah mendapat didikan karakter dari pramuka. Semua pejabat pemerintahan sekarang ini semuanya pernah menjadi pramuka; mengapa banyak yang berstatus tersangka tindak pidana bahkan sampai menjadi narapidana?
Untuk menjawab kedua pertanyaan ini diperlukan pengamatan, penelitian ilmiah. Semoga ada intelektual, mahasiswa, tertarik melakukan penelitian dengan permasalahan tersebut di atas.
Masukan untuk Pemerintah
- Pemerintah harus tahu bahwa metode pembentukan karakter yang digunakan oleh pramuka berbeda dengan metode yang digunakan oleh kepanduan; hasilnya pun jauh berbeda. Telah terbukti bekas anggota pandu tidak chauvinistik.
- Tugas membina karakter bangsa Indonesia tidak bisa diberikan hanya kepada satu organisasi pramuka (yang homogen). Jumlah anak usia 8 – 17 tahun sebanyak 40 juta diurusi oleh hanya satu organisasi, itu nonsense. Sebagai contoh pandu Amerika (Boy Scout of America) merupakan pandu asal dari bermacam denominasi gereja, imigran Vietnam, imigran Eropa Timur, imigran Timur Tengah, mereka heterogen namun menganut “Unity in Diversity”, kacu leher mereka berbeda-beda tetapi tujuannya sama.
- Sebaiknya Pemerintah tidak membeda-bedakan perlakuan kepada organisasi-organisasi kepanduan. Hizbulwathan niatnya mulia sejak lahirnya di tahun 1918 membangun karakter bangsa, jangan dibedakan perlakuan yang diberikan kepada pramuka dan kepanduan; sikap pemerintah harus membuktikan bangsa Indonesia ini menganut “Bhinneka Tunggal Ika” ̶ berbeda-beda namun satu jua.
- Pemerintah dianjurkan untuk merangsang warga masyarakat agar ikut membentuk pasukan kepanduan (seperti ketika jaman Hindia-Belanda dan ketika RI masih berusia beberapa tahun). Pembina kepanduan walau tidak mendapat gaji, honorarium, insentif, jangan diragukan niat kerjanya, mereka berkegiatan lillahi ta’ala atau pro deo. Bila ingin melihat buktinya, cobalah kunjungi jambore Hizbul Wathan, banyak pribadi berusia di atas 70 tahun bahkan ada yang berumur lebih dari 80 tahun masih bergiat membina kepanduan tanpa mengharap penghargaan.
- Pemerintah agar meminta kesediaan organisasi-organisasi massa membentuk kepanduan dengan diberi Petunjuk Permainannya. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Walubi, PGI, KWI, Parmusi, Taman Siswa, Persis, FKPPI, Al-Irsyad, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Pesantren-Pesantren, semuanya diminta membentuk pasukan kepanduan untuk membentuk jasmani dan rohani anggotanya teguh, kuat, jujur, jauh dari rokok, jauh dari narkoba. Selanjutnya kepanduan tadi membentuk federasi kepanduan nasional.
- Pemerintah yang tidak “emban cinde emban siladan” akan bisa membentuk bangsa ini menjadi bangsa unggulan.
Ditulis oleh R. Darmanto Djojodibroto, Kuching, Sarawak, Malaysia.
Asal: Karanganom Dk Karangmojo Rt5 Rw3, Purwomartani, Kalasan, Sleman, DIY
Pengalaman memandu:
- 1951-1953 sebagai anggota Pandu Athfal, Hizbul Wathan, Golongan Hijau di Banjarmasin.
- 1957-1961 sebagai anggota Pandu Rakyat Indonesia
- Pemimpin Regu Singa, Kelompok Malang-3 Arjuna, Pandu Rakyat Indonesia
Tulisan kepanduan:
- Perkemahan, Majalah Teruna Balai Pustaka No.4 Tahun 1960
- Baden-Powell Bapak Pandu, Harian Kompas 29 Pebruari 1972
- Memperkenalkan Kembali KEPANDUAN, Yayasan SAWORO Yogyakarta 99, ISBN 979-96113-1-8
- Pandu Ibuku, Penerbit Yayasan Pustaka Obor, Jakarta 2012, ISBN 978-979-461-812-7
- Kepanduan suatu metode pembentuk karakter (Belum diterbitkan)