Walau Lagu Kebangsaan kita “Indonesia Raya” memuat bait yang berbunyi “Di sanalah aku berdiri jadi pandu Ibuku” dan “Majulah neg’rinya, majulah pandunya”; sekarang ini banyak orang yang tidak tahu apa itu pandu atau kepanduan yang berkonotasi boyscout, Memang banyak kosakata Bahasa Indonesia yang mulai tidak dimengerti oleh anggota masyarakat, sebagai misal, kata tukang penatu, dobi sudah mulai tidak digunakan diganti menjadi laundry, berbelanja menjadi shopping, tukang cukur jadi barbershop,
Tanpa ada yang memaksanya selera masyarakat berubah dari berbahasa kebangsaan menjadi berbahasa asing. Namun dalam hal punahnya kosakata pandu berbeda dengan punahnya kosakata tukang penatu, dobi, tukang cukur; punahnya kosakata pandu disebabkan karena diupayakan punah oleh pemimpin bangsa kita sendiri, hanya orang yang mempunyai pengalaman berkepanduan dan mendapat manfaat dari berkepanduan saja yang masih mempertahankan dan mengingat kosakata pandu.
Sejak tahun 1926 kosakata pandu dan kepanduan digunakan oleh para pejuang kemerdekaan untuk membentuk karakter remajanya guna mencapai kemerdekaan bangsa yang sedang terjajah. Pemerintah Belanda melarang penggunaan kosakata Belanda padvinder untuk organisasi boyscout. Haji Agoes Salim menemukan kosakata pandu/kepanduan sebagai padanan kata padvinder dan padvinderij.
Wage Rudolf Soepratman komponis penggubah lagu Indonesia Raya memuat kosakata pandu dalam lagu ciptaaannya yang kita nyanyikan sampai sekarang sebagai lagu kebangsaan
Mengapa kosakata pandu menuju kepunahan?
Mengingat sejarah yang heroik dan patriotik dari organisasi kepanduan mengapa kemudian kosakata kepanduan bisa menuju kepada kepunahan?
Penyebab pudarnya kepanduan dan kepunahan kosakata kepanduan di Indonesia disebabkan oleh:
- Kekuatan kaum yang anti kepanduan yang dominan pada saat antara tahun 1950 – 1966. Kaum yang anti kepanduan tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara lain utamanya negara berpaham komunis dan otoriter.
- Karakter anggota kepanduan yang telah terbentuk taat kepada perintah seperti yang dituntut oleh Undang-Undang Pandu (Scout Law) # 7 yang berbunyi “ Pandu itu sanggup menjalankan perintah dengan tidak membantah” sedangkan pemimpin pandu-pandu yang didikan jaman penjajahan masih ingat Padvinderswet # 7 yang berbunyi “Een Padvinder weet orders te gehoorzamen zonder tegenspreken”. Ketika Presiden RI memerintahkan pembubaran kepanduan sesuai dengan Keptusan MPRS, para pandu menurut saja sebab percaya kepada Pimpinan.
Metode kepanduan ditujukan untuk membentuk karakter individu agar bisa mencapai kondisi pribadi yang sehat jasmani dan rohani, sehingga menjadi warganegara yang bermutu. Dari individu yang berkarakter bermutu suatu bangsa akan mendapatkan manfaatnya. Tujuan Kepanduan yang utama bukan membentuk pribadi pemimpin, tetapi membentuk anggota masyarakat yang berkarakter (akhlakul mahmudah). Walau banyak orang berpendapat mencetak pemimpin lebih berbobot dibandingkan sekedar mencetak warganegara biasa yang awam, namun kepanduan konsisten tetap bertujuan mencetak warganegara biasa yang bermutu dapat dipercaya. Oleh karena kepanduan bertujuan membentuk karakter pribadi atau individu maka kaum yang anti kepanduan menggolongkan kepanduan sebagai penganut individualisme.
Kepanduan beranggapan bahwa seseorang remaja bangsa apapun, bila menjadi anggota kepanduan di mana saja di luar tanah airnya, hasil yang dicapainya akan setara atau aequal seperti bila ia menjadi anggota kepanduan di negaranya. Karakter pribadi yang diperolehnya sesuai dengan Janji Pandu (Scout oath) dan Undang-Undang Pandu (Scout Law). Sejak Agustus tahun 1924, Resolusi Konperensi Pandu Antar Bangsa di Kopenhagen menyatakan bahwa Gerakan Kepanduan bersifat Nasional, bersifat Internasional dan bersifat Universal.
Metode kepanduan berupa permainan, permainan untuk anak-anak dan remaja dengan tujuan membentuk jasmani yang sehat, persis seperti yang diucapkannya “to keep myself physically strong, mentally awake, and morally straight”. Apabila sekarang ada anak remaja tidak suka berkepanduan tentu penyebabnya karena yang disuguhkan bukan permainan. Selama ia seorang anak tentu menyukai permainan.
Kepanduan mengikis sifat chauvinistic. Yang dimaksud dengan chauvinistic di sini adalah menganut chauvinisme istilah yang digunakan untuk merujuk pada kesetiaan ekstrim terhadap suatu pihak atau keyakinan tanpa mau mempertimbangan pandangan alternatif. Chauvinisme tidak hanya menunjukkan loyalitas atau ikatan dengan kelompok, tetapi biasanya juga mencakup kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain yang tidak segaris atau tidak sehaluan. Sikap chauvinistic banyak diidap oleh sebagian masyarakat sampai kini karena memang dipupuk agar bersifat demikian.
Bagaimana kepanduan mengikis sifat chauvinistic? Mengapa kacu leher kepanduan (setangan leher, neckerchief, haalsdoek) pandu banyak ragamnya? Hal ini sebagai upaya membedakan mereka menjadi kelompok-kelompok di kepanduan. Walau dalam organisasi yang sama, sebagai contoh: Pandu Rakyat Indonesia, kelompok Malang-1 dengan Kelompok Malang-3 berbeda kaculehernya. Apalagi bila berlainan organisasi tentu coraknya berlainan. Kelompok merupakan kesatuan pergerakan kepanduan dalam Cabang. Kelompok Pandu terdiri atas satu Keluarga Pemula, satu Pasukan Perintis, satu Suku Penuntun. Dalam satu pasukan Perintis tidak boleh lebih dari 6 (enam) regu.
Petunjuk Permainan untuk Pandu Putera terbitan Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) Pt # 279 menyatakan “Jangan sampai terjadi, bahwa 2 Kelompok dalam suatu Cabang memakai setangan leher yang sama warna dan tandanya”. Alur pikir kepanduan memang berbeda dengan paham yang mengatakan seragam merupakan simbol dari persatuan; kepanduan menganut: “beragam tidak berarti tidak bersatu”.
Hal di atas adalah manifestasi dari metode kepanduan dalam mempraktekkan credo “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Unity in diversity”; kepanduan membuat mereka berbeda-beda menjadi kelompok-kelompok namun mengajarkan bahwa mereka adalah satu sesuai dengan Undang-Undang Pandu # 4 “ Pandu itu sahabat sesama manusia dan saudara bagi tiap-tiap Pandu”. Kaum yang tidak menyukai metode kepanduan dalam membedakan kacu leher, mengatakan kepanduan pemecah belah persatuan bangsa.
Metode kepanduan menganut sistem non-coed yaitu organisasi terpisah antara kepanduan putera dan kepanduan puteri. Hal ini menyebabkan kepanduan dianggap tidak bisa bersatu.
Bukti bahwa organisasi kepanduan yang bermacam, beragam tidak meyebabkan perpecahan adalah: sebelum tahun 1961 banyak organisasi kepanduan yang besar seperti Pandu Rakyat, Pandu KBI, Pandu Hizbul Wathan, Pandu Katholik, Pandu Perketi, Pandu Lopahong, Pandu Bhayangkara, yang pada peringatan hari proklamasi kemerdekaan RI selalu melaksanakan taptoe, berbaris pada malam hari dengan membawa obor keliling kota, mereka merasa satu bangsa yang sedang memperingati ulang tahun hari kemerdekaan. Walau tidak mengenal akrab namun setiap mereka bertemu selalu memberikan salamnya. Tradisi semacam ini sekarang sudah tidak dikenal lagi.
Bukti yang nyata bahwa kepanduan bukan pengkotak-kotakan bangsa adalah: walau telah dibubarkan para pandu-tua tetap menjaga silaturahim di antara mereka. Pada tanggal 25 Juli 2009 di Bintaro Tangerang dilaksanakan peringatan 50 tahun keikutsertaan pandu-pandu dari Indonesia mengikuti Jambore Pandu Sedunia ke X di Mt Makiling the Philippines tahun 1959.
Pada tanggal 16 Maret 2013 Sabtu Wage mereka berkumpul lagi dalam pertemuan yang disebut sebagai Jambore MamPrat di rumah Kiai Salahuddin Wahid. Pada tanggal 14 – 15 September 2019 di Bandung dilaksanakan Jambore Pandu Tua 2019 dihadiri oleh tidak kurang dari 140 orang peserta pandu-tua. Suasana pada JPT 2019 dirasakan adanya ketenteraman, tidak ada rasa sektarian, tidak ada rasa aliran politik, adanya hanya rasa persaudaraan dan “Bhinneka Tunggal Ika”. Mereka semua itu dari bermacam-macam organisasi namun tidak merasa terpecahbelah seperti yang dituduhkan distigmatisasi sebagai pengkotak-kotakan bangsa.
Kepanduan menganut metode pendidikan yang sederhana tidak revolusioner seperti yang dituntut pada era 1960-1966; janji pandu dan Undang-Undang pandu menggunakan frasa yang mudah dimengerti oleh anak/remaja, menggunakan bahasa sehari-hari. Scout Oath diterjemahkan menjadi Janji Pandu tidak menggunakan bahasa Sanskerta maupun Bahasa Jawa Kuno, Scout Law diterjemahkan menjadi Undang-Undang Pandu. Butir pertama Undang-Undang pandu mengatakan bahwa “Kehormatan Pandu itu dapat dipercaya”. Kata (frasa) Tuhan disebutkan pada Janji Pandu hanya sekali “Demi kehormatanku aku berjanji akan menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan, Tanahairku dan Undang-Undang Negara” tidak ada lagi pengulangan frasa Tuhan pada Undang-Undang Pandu. Kepanduan mengajarkan konsistensi, tidak menyukai gaya pleonasme.
Stigmatisasi Kepanduan
Benarkah pandu dan kepanduan mengalami stigmatisasi, yang menyebabkan masyarakat tidak tahu lagi arti makna pandu seperti yang ada pada lagu kebangsaan “Indonesia Raya?”
- Pada 27 November 1958 Menteri PP&K Prof. Dr. Prijono mengadakan seminar di Ciloto dengan mengambil topik “Penasionalan Kepanduan”. Prof Dr. Prijono adalah seorang yang pernah mendapat hadiah Stalin (Perdana Menteri Uni Soviet). Para pandu menganggap seminar tersebut sebagai upaya menanamkan rasa permusuhan, oleh karena sejak semula Gerakan kepanduan di manapun di dunia ini bersifat nasional, mengapa harus dinasionalkan lagi? Prof Prijono memang bukan anggota PKI namun Beliau ketika itu tergolong sebagai “fellow traveler”.
- Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 19 Nopember 1960 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, Lampiran C
- (saran) ayat 8 menyatakan: “Kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden-Powellisme”.
- Pidato Presiden R.I. di Istana Negara pada 9 Maret 1961 jam 20.00 yang disampaikan kepada Para Pemimpin Pandu di mana disebutnya kegagalan kepanduan, ada something wrong di dalam kepanduan, pandu-pandu tidak mengerti industrialisasi, tidak mengerti pertanian, bisanya sebagai woudloper, touwknopen, bisanya mengarang yell. Anak Presiden R.I. sendiri tidak tahan jadi pandu hanya kuat bertahan 6 bulan kemudian keluar dari kepanduan.
- Untuk diketahui bahwasanya kurun waktu pembubaran kepanduan (Maret 1961) sama dengan kurun waktu perobohan rumah tempat diproklamasikannya kemerdekaan R.I. di Jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta. Kurun waktu itu di mana kaum komunis dominan. Perobohan rumah proklamasi dimulai dengan Upacara Penyangkulan Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahapan pertama yang berlangsung pada tanggal 1 Januari 1961. Pencangkulan pertama dilakukan oleh Presiden R.I. Nah di tahun 1961 itulah bangsa Indonesia kehilangan jejak fakta sejarah proklamasi kemerdekaan dan juga kehilangan jejak fakta sejarah kepanduan yang heroik patriotik akibat dominannya pengaruh komunisme.
- Selanjutnya LAMPIRAN KEPUTUSAN KWARTIR NASIONAL GERAKAN PRAMUKA NOMOR 103 TAHUN 1989. ANGGARAN RUMAH TANGGA GERAKAN PRAMUKA BAB I Pasal 1 ayat (2) menyatakan: Untuk mencegah kesimpangsiuran, maka perkataan kepanduan hanya digunakan dalam Anggaran Dasar, dan selanjutnya dipakai kata kepramukaan”. Kepunahan dimulai di sini.
- Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka adalah produk Pemerintah baik Eksekutif maupun Legislatif. Stigmatisasi kosakata kepanduan menyebabkan tidak ada kehadiran kosakata pandu/kepanduan pada Undang-Undang ini walau sebenarnya untuk batasan definisi Gerakan Pramuka akan tepat bila menggunakan kosakata pandu/kepanduan. Untuk keperluan ini ada kalimat: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Gerakan Pramuka adalah organisasi yang dibentuk oleh pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan, 2. Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan Satya Pramuka dan Darma Pramuka, 3. Kepramukaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan pramuka, 4. Pendidikan Kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilainilai kepramukaan.
Membaca batasan yang berputar-putar (circulus vitiosus, lingkaran setan)seperti yang ada pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2010,sebenarnya akan mudah dipecahkan bila disebut Gerakan pramuka adalah organisasi kepanduan (boyscout).Namun oleh karena alergi dengan kosakata pandu/kepanduan jadilah Undang-Undang ini berputar-putar di satu kata itu saja, pramuka, Gerakan pramuka, satya pramuka, darma pramuka untuk menerangkan apa itu pramuka.
Undang-undang tersebut di atas berkat pemikiran hasil didikan generasi yang melupakan sejarah, 50 tahun setelah pembubaran kepanduan yang menyebabkan metode pembentukan karakter yang telah berhasil mencetak para pahlawan sirna tidak bersisalagi. Studi banding pembuatan Undang-undangnya juga ke Afrika Selatan dan Korea Selatan. Orientasinya dipertanyakan, salah arahnya.
Demikianlah kenangan menjadi anggota kepanduan yang saya alami mulai dari menjadi pandu Atfal Hizbulwathandi Banjarmasin kemudian menjadi pandu Perintis Pandu Rakyat Indonesia di Malang sampai dengan menjadi Pandu-Tua di JPT-2019.Kita menantikan JPT -2020 atau kalau belum memungkinkan karena adanya Corona, ya JPT-2021.
Sebagai mana judul makalah ini yang menyebut menjadi warganegara yang dapat dipercaya; kita harus mengupayakan agar masyarakat ikut serta dalam membentuk karakter masyarakat yang dapat dipercaya sehingga mulai dari masyarakat awam sampai kepada puncak pimpinan bangsa adalah insan yang dapat dipercaya. (RDD).