HIZBULWATHAN.OR.ID, YOGYAKARTA – Pandu Hizbul Wathan (HW) sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah telah mendapat amanat dalam melaksanakan semua kegiatannya harus diarahkan kepada karakter melalui kepemilikan dan penghayatan lima macam cinta yang berbasis ketakwaan, keimanan, dan rasa syukur kepada Allah.
Demikian diungkapkan Ramanda Endra Widyarsono, Pejabat Ketua Umum Kwartir Pusat (Kwarpus HW) pada Dialog Kebangsaan Pra Tanwir bertajuk “Penguatan Ideologi Muhammadiyah dan Bangsa” melalui Kanal Youtube Kartir Pusat Hizbul Wathan, Jumat (12/2/2021).
“Kegiatan harus menyenangkan, menarik, menantang, dan mendidik dengan cara bernyanyi, bercerita, bermain, dan bertualang. Di sini pendidikan karakter Hizbul Wathan ditanamkan,” lanjut mantan sekretaris umum tersebut.
Endro nama sapaan akrab Ramanda menjelaskan, karakter dalam Hizbul Wathan harus diarahkan lima cinta. Pertama, cinta kepada allah. Jika semua dekat dengan allah, semua akan berhasil. Sebagaimana diikrarkan dalam janji Hizbul Wathan. Kedua, cinta tanah air bangsa dan negara. Hal ini tertuang dalam Janji Pandu Hizbul Wathan bait satu dan dua.
Lalu, yang ketiga ketiga adalah cinta kepada kolega, teman, dan handai taulan. Ini sebagai bentu amal saleh. Keempat, jelas Endro, cinta terhadap keluarga dan lingkungan. Hal ini sebagai bentuk pertolongan dan perlindungan kepada masyarakat.
“Kelima, cinta kepada dirinya sendiri. Sebagai bentuk usaha menghindarkan dari segala yang merugikan dirinya sendiri seperti narkoba, korupsi, zalim, dan lain-lain,” terangnya.
Fungsi Kebangsaan Muhammadiyah
Sementara itu, pembicara tunggal Afnan Hadikusumo menegaskan bahwa kehadiran Muhammadiyah sejak awal tidak bisa dipisahkan dengan peran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah sudah melaksanakan dakwah dalam berbagai metode. Pertama, dakwah billisan, yakni dengan pengajian. Kedua, bilhal dengan perbuatan dan teladan.
“Mendirikan rumah sakit, membagikan zakat dengan kepanitiaan, menjalankan perintah surah Al-Maun dengan mendirikan panti asuhan,” ujarnya. “Al-Qu’an tidak hanya dibaca, tapi dipraktikkan dengan tindakan nyata,” tegasnya.
Metode ketiga adalah dakwah bittadwil dengan tulisan. Menurut Afnan, banyak tokoh yang berjuang melalui tulisan agar pikirannya dibaca orang lain. “Walaupun tradisi membaca masih sangat rendah, banyak pemikiran yang bisa dibaca karena masih tersimpan dalam arsip yang baik. Termasuk di Perpustakaan Leiden, Belanda,” terang anggota DPD RI Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Kelima adalah dakwah bil hikmah, yakni dengan arif dan bijaksana. Mengingatkan para tanpa membuat malu atau tersinggung.
Dalam menjalankan peran kebangsaannya, secara historis peran Muhammadiyah sudah terbaca. Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari peran berbangsa. Tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Ini terlihat dari kesediaan Ahmad Dahlan menjadi penasihat Sarekat Islam dan Budi Utomo. Termasuk sering dimintai nasihat oleh Ki Hajar Dewantara.
“Nama Ki Bagus Hadikusumo itu, konon kata “Ki” diperoleh dari gelar yang diberikan Taman Siswa, karena sering diminta untuk mengajar oleh Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa yang nasionalis butuh sentuhan ideologis yang diberikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah,” papar ketua Tapak Suci itu.
Afnan melanjutkan, Hizbul Wathan bisa terlibat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Pertama, problem keteladanan. Sekarang sangat susah memperoleh keteladanan yang nyata. Tokoh seperti Jenderal Sudirman sudah jelas, tapi generasi millenial butuh role model yang nyata, tidak jauh dari zaman mereka. Kedua, problem sistem politik.
“Indonesia terjebak pada demokrasi liberal. Orang kaya bisa menguasai partai dengan menggunakan modal mereka. Juga ada kanibalism politik, sama-sama calon saling memangsa. Dalam satu partai saling mangsa, apalagi dengan lain partai,” papar ponakan Djarnawi Hadikusumo itu.
Sayyidina Ali pernah membagi persoalan mental ini pada tiga bagian. Pertama adalah budak, orang hanya taat kepada tuannya. Kedua mental pedagang. Orang yang hanya memikirkan untung dan rugi. Ketika sebuah undang-undang dibuat yang dipikirkan hanya keuntungan. Ketiga mental pragmatis. Sejak zaman Belanda sudah ada. Ada yang pragmatis ada yang idealis.
“Tantangan Muhammadiyah dan ortom ke depan adalah bagaimana bisa menciptakan individu muslim yang unggul. Hal ini mudah dalam pelatihan tapi menantang dalam kehidupan sehari-hari”, pungkas mantan DPRD Jogja ini.
Reporter: Ramanda Ernam