Oleh : Dewi Mayaningsih (Sekretaris PD ‘Aisyiyah Kota Bandung)
Ditengah perdebatan pro dan kontra memperingati hari lahirnya Raden Ajeng Kartini pada tanggal 21 April ini, pada prinsipnya pada hari Kartini ini mengingatkan kita tentang perjuangan perempuan di Indonesia. Pada tulisan ini mari mengenang juga pahlawan perempuan yang tidak asing dikalangan warga ‘Aisyiyah yaitu Nyai Siti Walidah. Berkat perjuangannya, pada 10 November 1971, Nyai Siti Walidah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia melalui keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.
Siti Walidah lahir pada tanggal 3 Januari 1872 di Kauman, putri seorang ulama besar yaitu K.H. Muhammad Fadli. Pada tahun 1889 Siti Walidah menikah dengan Ahmad Dahlan dan dikaruniai 6 orang anak, setelah menikah Siti Walidah lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Selama mendampingi Kyai Haji Ahmad Dahlan, Siti Walidah telah memberikan pengkhidmatan yang luar biasa dalam menjalankan gerak dakwah. Siti Walidah atau Nyai Dahlan merintis Sopo Tresno tahun 1914 karena kondisi sosial saat itu membuat perempuan tidak mendapatkan pendidikan secara formal. Sopo Tresno kemudian menjadi cikal bakal berdirinya ‘Aisyiyah. Aisyiyah didirikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917, hingga kini ‘Aisyiyah merupakan salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang telah mencapai usia 102 tahun.
Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan berupaya mengangkat ketertinggalan kaum perempuan dengan pendidikan dan ekonomi, hingga kini kita bisa melihat ribuan rumah sakit dan sekolah Aisyiyah tersebar diseluruh Indonesia dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Bustanul Athfal sebagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pribumi pertama di Indonesia memasuki telah mencapai usia 1 Abad (21 Agustus 1919).
Perjuangan Siti Walidah atau Nyai Dahlan, mengajarkan kita tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam setidaknya melingkupi 4 aspek yaitu, Aspek spiritual, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial serta Aspek Politik dan Hukum. Aspek Spiritual Islam Siti Walidah menekankan bahwa perempuan dan laki-laki sama dihadapan Allah, tidak ada diantara mereka yang lebih rendah atau lebih tinggi dari lainnya. Kelebihan diantara mereka karena prestasi iman’, amal dan taqwanya. Maka kesadaran itu harus dipupuk sedari dini melalui pendidikan; Aspek Ekonomi bahwa segala yang dilangit dan dibumi hakikatnya milik Allah, maka berjuang dalam menegakan ajaran Islam bukan hanya dengan bicara lantang bahwa kita berani mati demi agama Allah tapi seberapa banyak kita dapat memberikan manfaat bagi muslim lainnya dengan membuka peluang bagi akses ekonomi keluarga; Aspek Sosial bahwa Siti Walidah adalah sebagai Anak, sebagai Istri dan sebagai bagian dari masyarakat yang dapat mendudukan peran tersebut pada tempatnya, secara umum perempuan harus dihargai setara karena saling melengkapi, harus dipergauli dengan baik dan dihormati martabatnya; Aspek Politik dan Hukum maka Siti Walidah menunjukan kepada kita bagaimana beliau sering dimintai pendapatnya atau nasihatnya oleh para tokoh bangsa termasuk Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jendral Soedirman, menghadiri pertemuan tingkat nasional dan ikut berjuang dengan memberikan perlindungan dan makanan kepada para tentara, dari sini kita melihat bahwa kaum perempuan dapat terlibat dalam berbagai persoalan masyarakat, mempunyai hak suara dan hak bicara serta dapat ikut terlibat dalam kepemimpinan besar.
Melanjutkan perjuangan Siti Walidah dengan mensosialisasikan dalam lingkup keluarga sebagaimana PHIWM bahwa fungsi keluarga selain mensosialisaikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam juga melakukan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah dikemudian hari, karena kita butuh Siti Walidah lainnya. Wallahu’alam